Sabtu, 19 Mei 2012

Sejarah Jazz Tanah Air


  
Rekaman Jazz masa lalu, Koleksi pribadi
Memetakan sejarah jazz di Indonesia memang agak sulit. Banyak silang pendapat tentang siapa, kapan, dan di mana musik jenis ini muncul untuk pertama kali di Indonesia. 

Sudibyo Pr, seorang pencinta jazz dan penulis buku jazz, mengatakan pemain musik jazz tanah air dari Indonesia yang pertama kali adalah para tentara dari Aceh. Tentara ini biasanya dipanggil untuk menghibur pejabat-pejabat Belanda dan pribumi yang memiliki hak sama dengan orang Belanda. Kala itu, mereka bermain musik jazz di Societet.

Sumber lain menyebut bahwa jazz masuk ke Indonesia berbarengan dengan merebaknya jazz di New Orleans, Amerika, tahun 1900-an. Pada 1920, kita mengenal kelompok bernama “Black & White” di bawah pimpinan Wage Rudolf Supratman. Kelompok ini bermain di Kota Makassar. Sedangkan di Jakarta, tahun 1930-an, ada grup bernama “Melody Makers” yang dimotori oleh Jacob Sigarlaki. Dan musisi lain seperti Bootje Pesolima, Hein Turangan, Nico Sigarlaki, serta Tjok Sinsu. 

Referensi lain menyebutkkan bahwa jazz untuk pertama kali dimainkan di Indonesia pada tahun 1922. Setelah seorang pemain saksofon asal Belanda membuat kelompok Jazz di Indonesia. Hampir 80% personel kelompok ini adalah orang Indo-Belanda.  Dua dekade kemudian di Jakarta muncul Hein Turangan yang membentuk kelompok jazz bernama “Jolly Strings”

Perkembangan selanjutnya ada Nicholas Maximiliaan Mamahit (Nick Mamahit) seorang pianis Jazz berdarah Manado-Belanda yang mengusung Jazz modern setelah meriilis album “Sarinande” dibawah bendera Irama Record di tahun 1956. Proyek rekaman musisi yang pernah mengenyam pendidikan musik di Amsterdam Music Conservatory pada tahun 1944 ini didukung oleh Bart Risakotta (drum) dan Jim Espehana (bass).

Sebelum masuk ke dapur rekaman nama Nick Mamahit sudah dikenal di tahun 1950-an saat Ia membentuk sebuah trio jazz dengan nama "The Progressief", bersama Dick Abel (gitar) Van Der Capellen (bas) dan Nick sendiri pada piano.. Ia kemudian membentuk Metrapalita Orchestra bersama Jos Cleber.
Memasuki era tahun 60 an praktis ingar bingar musik di tanah air sedikit meredup akibat pergolakan politik di dalam negeri, hal ini  sedikit banyak berimbas pada perkembangan musik jazz di Indonesia. Pada tahun-tahun tersebut, jazz dimainkan secara sembunyi-sembunyi. Sebab, musisi jazz dan penggemarnya dihinggapi perasaan takut.  Untungnya hal itu tidak berlangsung lama. Setelah melewati masa sulit, musisi jazz mulai menampakkan geliat lagi di tahun 67. 

Bubi Chen membuat kejutan di Berlin Jazz Fetival 
Tahun 1967, Bubi Chen (piano), Jopie Chen (bass), Jack Lesmana (gitar), Benny Mustapha Van Diest (drum), dan Maryono (saksofon) sempat mengagetkan penikmat musik jazz dunia karena bisa  tampil di ajang “Berlin Jazz Festival”. Lagu-lagu yang mereka suguhkan di ajang bergengsi itu sangat unik dengan konsep Jazz dan balutan citra Indonesia hingga disebut sebagai “jazz ala Indonesia”. Mereka sukses mengaransemen lagu “Djanger Bali” dan “Ku Lama Menanti” yang mereka dedikasikan kepada perusahaan penerbangan Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), yang telah memfasilitasi keberangkatan Indonesia All Star.  Di ajang ini, Bubi Chen mendapatkan respons yang sangat positif dari para penulis jazz internasional. Ia lantas disebut sebagai pianis jazz terbaik di Asia dan mendapat gelar sebagai “Art Tatum of Asia”. Sekedar mengingat Art Tatum adalah salah satu pianis jazz besar, lahir Toledo, Ohio dan telah merekam lebih dari 60 album sepanjang kariernya. 

Di era 70an yang tak kalah penting juga mencuatnya nama penyanyi dan penulis lagu yang kreatif Margie Segers. Suaranya yang yang jernih membuat musisi Jack Lesmana jatuh hati pada Mergie, direkrutnya Mergie untuk mendukung proyek rekaman Jack Lesmana berjudul “Siapa Bilang Sayang”, album ini memuat nomor hits dari sejumlah musisi tanah air seperti A. Rianto, Charles Hutagalung, Bing Slamet, Narto Sabdo, dan Jack Lesmana sendiri. 

Pada tahun 1977, perusahan rekaman Pramaqua merilis album Jopie Item Combo & Idris Sardi, yang antara lain didukung pula oleh musisi kawakan seperti Karim Suweilleh (drums), Abadi Soesman (drum) dan Wempy Tanasale (bass). Album ini mengetengahkan duet permainan biola Idris Sardi dan raungan gitar Jopie Item. 

Jopie Item sendiri muncul sebagai generasi lanjutan jazz Indonesia yang lumayan aktif bermain di pentas clubs dan TVRI. Kelompoknya yang terkenal adalah Jopie Item Combo. Jopie juga bermain bersama Rully Johan atau Abadi Soesman. Sementara Abadi Soesman sendiri juga memiliki proyek jazz rock-nya yang lain dengan kelompok “The Eternals”, yang juga bermain di clubs

Jazz di akhir 70-an pasarnya mulai melebar, sejumlah anak-anak muda mulai melirik kampus sebagai tempat pergerakan jazz. Yang paling menonjol adalah Universitas Indonesia lewat “ulah” mahasiswa Fakultas Ekonominya dibawah Chandra Darusman dengan kelompok vokalnya bernama Chaseiro yang didukung teman-teman sekampusnya seperti Helmie dan Rizali Indrakesuma, Edi Hudioro, Norman Sonisontani (Omen). 

Kemunculan musisi jenius Fariz Rustam Munaf Di akhir 1970-an langsung menyita perhatian publik, Fariz merilis album perdanya “Sakura” di tahun 1978 dengan unsur Jazz Rock yang sangat menawan Fariz disebut-sebut sebagai musisi jenius oleh penikmat musik, dia memainkan seluruh alat isntrument di album dengan hits “Sakura” yang merupakan soundtrack film”Sakura dalam Pelukan”.  

JakJazz
Di era tahun 1980-an selain pergelaran jazz lokal seperti “Jazz Goes To Campus” yang sudah menjadi agenda rutin setiap tahun dan digelar di kampus UI, pada tahun 1988 juga terselenggara sebuah event jazz yang terbesar yang pernah digelar oleh anak negeri, yakni Jakarta International Jazz Festival atau yang lebih dikenal dengan nama Jak Jazz, atas gagasan cemerlang Ireng Maulana. 

Perhelatan jazz akbar ini sungguh membanggakan karena diikuti oleh musisi jazz dunia, baik dari Amerika, Eropa, dan Asia. Tentu saja ratusan musisi jazz kita ikut andil sambil berkolaborasi satu panggung dengan musisi-musisi luar negeri. Musisi-musisi dari luar yang memeriahkan Jak Jazz pertama itu adalah Phil Perry, Lee Ritenour, Larry Corvell, Kazumi Watanabe, Frederick Noran Band, Igor Brill Ensemble.
Banyak musisi Jazz ataupun kelompok lahir di tahun ini, sebut saja kelompok bertaraf internasional seperti Bhaskara, Karimata, Krakatau, Emerald hingga ke kelompok Spirit, Black Fantasy, Trans dan d’Marszyo.
Pengaruh fusion yang melanda anak-anak muda di seluruh dunia seperti kelompok Casiopea, Uzeb, Spyro Gyra, Mezzoforte dan Azzymuth turut memengaruhi aliran musik yang dimainkan oleh kelompok-kelompok Jazz tanah air kala itu.

Era tahun 90 hingga 2000-an jazz tanah air  lebih menggeliat lagi dengan hadirnya kelompok baru yang mengusung format musik jazz dari yang memainkan musik standard, Be-bop, Ragtime, Smooth Jazz hingga fusion yang disebut-sebut telah meramaikan khasanah Jazz tanah air seperti Cherokee, Canizaro, Rhythem Of Jakarta, Bali Lounge, Park Drive, Canzo, Simak Dialog, Chlorophil dan masih banyak lagi. Tentunya penikmat Jazz tanah air masih terus menantikan kejutan-kejutan dari kelompok baru ataupun lama yang akan terus memperpanjang sejarah jazz dalam negeri. Semoga! (Dicky Harisman)

Kamis, 10 Mei 2012

Jazz Tanah Air bangun dari tidur lelap


Gitaris Tohpati


Geliat musik jazz tanah air  dalam sepuluh tahun terakhir terlihat sangat menggembirakan. Beberapa gelaran konser Jazz musisi lokal maupun mancanegara seakan memberi aksen kondisi tersebut. Jazz seakan bangun dari tidur lelapnya. Meski terseok-seok, secara samar musik jazz Indonesia mulai menampakkan aktivitasnya. Lumayan dibandingkan dengan tahun 90-an, musik jazz Indonesia kini mengalami kenaikkan, meski jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari.

Gebrakan jazz Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak akhir 1999 lalu, angin segar ini dihembuskan gitaris Tohpati, gitaris cerdas yang menjadi trensetter musik Jazz Indonesia merilis album solonya yang berjudul “Tohpati”. Di album pertamanya, gitaris Simak Dialog dan Halmahera itu memainkan musik bercorak Fusion hingga easy listening yang renyah. Permainan gitarnya mengingat kita pada gaya bermain gitaris Lee Ritenour, Tommy Emanuelle ataupun Rush Freeman.

Di album solonya Tohpati tidak sendiri, ia menggandeng beberapa nama musisi/penyanyi  seperti Ari Malibu, Glen Fredley, Sakhila,  serta saxoponis yang sering kerjasama dengan pianis Chick Corea, Eric Marienthal. Meski banyak menawarkan sentuhan jazz, Tohpati tampaknya jeli melihat pasar. Ia menerobos, merusakkan sekat musik Jazz yang hingga saat ini dipandang sebagai musik berat di mata anak remaja. Tak heran kalau beberapa lagunya terdengar sangat “ramah” di telinga pendengar musik Indonesia, di luar Jazz sekalipun.

Selain Tohpati ada pula beberapa penyanyi dan kelompok jazz yang membuat album di tahun tersebut, sebut saja penyanyi Iga Mawarni yang merilis album “Iga Lagi”, di album hasil kerjasama dengan musisi senior, Dodo Zakaria, Iga juga menggandeng Peter F Gontha sebagai lawan duetnya di lagu “Ada Apa “. Berikutnya kelompok pengusung Accic Jazz, The Groove mengapungkan album “Kuingin”,   disusul Discus 1St yang mengawinkan musik diatonis dan pentatonis dalam abulm perdananya. Gitaris asal Bali, Balawan bersama kelompok Balawan Batuan Ethnic Fusion, membaurkan musik barat dengan etnik Bali di album “Globalism”, kemudian Java Jazz mengangkat komposisi Jazznya yang punya warna khas dengan mengeluarkan album “Bulan di atas Asia”.

Setelah gebrakan penyanyi dan kelompok di atas, jazz Indonesia kembali lagi sunyi dari pendengaran, praktis memasuki tahun berikutnya jazz Indonesia kembali melempem. Kondisi ini amatlah kontras jika dibandingkan dengan perkembangan musik Jazz Indonesia pada era tahun 80-an. Dalam paruh tahun tersebut banyak bermunculan penyanyi serta kelompok Jazz yang sangat beragam. Sebut saja nama kelompok Karimata, Krakatau, Spirit, Black Fantasy, Bhaskara, Emerald dan masih banyak lagi. Dari penyanyi/musisi yang berangkat sebagai  solois, kita bisa menyebut nama-nama Dian Pramana Putra, Henry Manuputi, Christ Kayhatu, Indra Lesmana, Vony Sumlang, Nunung Wardiman, Cici Sumiati, Yopie Latul dan Rien Djamain. Yopie Latul belakangan hijrah  ke jalur pop bahkan ke dangdut.

Dibanding sekarang, musik Jazz Indonesia pada saat itu lebih leluasa berkembang, karena belum banyak jenis musik lain yang masuk ke tanah air.

Tapi bukan berarti tahun-tahun ini jazz Indonesia tak bisa bersanding dengan musik lainnya, andai saja komposisi jazz yang disodorkan mau sedikit “bargaining”, dengan keinginan pasar musik, niscaya jazz tanah air akan kembali dilirik generasi muda yang belakangan memang tidak terlalu suka mengapresiasi musik asal New Orleans itu.

Bergaining, dalam artian penulis lagu jazz yang dibuat mesti jeli melihat pasar musik yang kenyataannya banyak didominasi kawula muda. Jazz selama ini cenderung lebih mengedepankan  idealisme bermusik, jazz dicap kurang mendengar keinginan pasar. Lihat saja, bagaimana komposisi musik berat ini dibangun oleh beberapa instrument musik yang sangat asing ditelinga anak baru gede. Dengan ramuan musik seperti itu jazz semakin sulit diapresiasikan pendengar dari kalangan ini, Alhasil jazz cuku puas didengar dan dimainkan para generasi tua saja, atau beberapa gelintir kaum muda yang memiliki tingkat apresiasi musik lebih tinggi.
           
Tapi bukan berarti juga musisi jazz harus putar haluan, ”melacurkan diri” membuat komposisi lagu murahan yang minimalis. Setidaknya kita bisa berkaca pada apa yang dilakukan musisi jazz manacenagara seperti gitaris Lee Ritenour,super gurp Four Play, Yellow Jackets, The Rippingtons. Jika kita simak, musik yang mereka bangun terasa enteng di telinga, namun secara umum tetap ada pendalaman. Itulah sebabnya musisi dan kelompok yang disebut di atas mampu menyedot banyak penggemar dari kalangan ini.

Kembali kepada kesimpulan bahwa generasi muda (usia 17 s/d 35 th) adalah pasar yang baik bagi perkembangan musik global di tanah air. Sebab tanpa keberadaan mereka yang notabene adalah pembeli aktif, susah bagi satu aliran musik untuk tetap survive menghadapi pesaing lain yang sama-sama berkeinginan mendapatkan tempat di bumi pertiwi ini. Kita berharap di tahun 2012 semakin banyak musisi/ penyanyi yang akan memperpanjang deretan nama jazzer tanah air. (Dicky Harisman)

Selasa, 17 April 2012

Lagu 80an, Diabadikan dalam Bentuk CD



Perburuan koleksi lagu era 80an saat ini terkendala dua hal. Langka dan Mahal! Sangat beralasan memang, sebab kaset-kaset tersebut kini sudah tak lagi dijual di toko, beberapa album yang direkam ulangpun tetap tak bisa mengalahkan keberadaan kaset aslinya. Kalaupun kaset itu ada, hanya di kalangan terbatas para kolektor saja. Dan jika terpaksa dilepaspun tentu dengan harga yang tidak murah.

Melihat kondisi tersebut beberapa perusahaan rekaman tertarik merilis kembali lagu hits era 80an dalam format Compact Disc (CD) baik album solo, album ”Terbaik” maupun kompilasi dari berbagai hits yang pernah populer. Hal ini disambut sukacita kolektor dan penikmat musik Indonesia 80an dari berbagai genre. Terbukti dari laris manisnya setiap CD yang dirilis.

Entah alasan master aslinya sulit ditemukan atau produser masih mengintip reaksi pasar. Dari sisi jumlah CD kompilasi yang dilepas ini jumlahnya masih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kaset hist yang pernah beredar baik jumlah keping maupun jumlah albumnya. Kondisi ini memaksa penikmat musik untuk sering memantau jika suatu saat ada CD baru keluar, mengingat kecil sekali promosi yang dilakukan untuk mendukung angka penjualan.

Saat ini album kompilasi menjadi daya tarik untuk dikoleksi, selain pertimbangan lagu yang ditawarkan lebih beragam, pertimbangan lain album itu hanya diproduksi sesaat. Tak ada kelanjutnanya. Kompilasi CD yang bisa kita temukan di gerai CD diantaranya adalah album kompilasi “Nada & Pesona”, yang memuat 14 Tembang Jazzy pilihan dari penyanyi papan atas di zamannya seperti lagu “Kasih” Ermy Kullit,  “Keraguan” (2D), “Segenggam Harap”, Luluk Purwanto, “Bawalah Cintaku”, Christ Kayhatu, “Cinta Cinta Cinta” Vina Panduwinata, “Kucoba Lagi”, Rien Jamain, “Tersiksa Lagi”, Utha Likumahuwa” dan ”Dunia Cinta” yang dibawakan penyanyi bersuara keren, Purnomo Sikas.

Kompilasi asik lainnya ditawarkan melalui album ”Best Of Jazzy Vocal” yang dirilis Prosound dan Target Pop tahun 2000. Album orisinal ini memuat 12 lagu Jazz era 80-90 dengan dukungan musisi hebat seperti January Christy yang membawakan lagu karya Erwin Gutawa/Harry Kis berjudul “Masa-masa”, Karimata Feat Harvey M, “Kisah Kehidupan”, Dian Pramana Poetra, “Semurni Kasih”, Bhaskara, “Life Is To Short To Worry”, Drakhma dengan hitsnya, “Tiada Kusadari”, sampai Black Fantasy membawakan lagu “Buat Kamu”. Tanpa bermaksud berpromosi, album ini layak dikoleksi penikmat musik 80.

Sukses album “Best Of Jazzy Vocal” disusul album “Indonesian Jazzy Vocal Too” oleh perusahaan rekaman yang sama. Album kompilasi kedua ini mengingatkan kita kepada konsep kompilasi Jazzy Tunesnya WEA di tahun 90an. Meski mengangkat lagu hits versi orisinal namun menempelkan juga beberapa lagu baru seperti lagu “Satu Yang Pasti” dibawakan Jazzer asal Jakarta Beben dan lagu “Believe” oleh Gaby Suano. Selebihnya kita akan menemukan lagu-lagu Jazz 80-90 versi orisinal seperti “Bayang-bayang”, Bhaskara, “Langkah Nada”, STAFF, “Andai Saja”, Iga Mawarni”. Pada kantung album ini juga kita bisa menemukan lagu “Biru” yang dibawakan Dian Pramana Poetra dan Syaharani dengan konsep musik Neo Bossa, lalu ada Kelompok pendatang “Clorophyl” dengan lagu andalannya “Bisik”, New Breeze dengan lagu “Yang Kurasa”.
Berbeda dengan kompilasi album sebelumnya album ini mencampuradukan lagu baru era 2000, lagu lama era 80-90 yang diaransir ulang dan lagu versi orisinal.

Album ketiga Target Pop adalah “Indonesian Jazzy Vocal Again”. Album kompilasi ini terbilang hebat. Target Pop dan Pro Sound bekerja keras untuk mendapatkan master asli dari lagu-lagu lawas seperti “Melayang”, Elfa’s Singers, “Pertama Kali”, Utha Likumahuwa, “Api Asmara”, Niagara, “Rinai Hujan” Bornok Hutauruk sampai “Bayangan”, Harry Roesli. Target Pop masih ingin mengkawinkan lagu baru seperti lagu ”Singgah di Hati” Dian Pramana Poetra dan Daniella, ”Bukan Hanya” dibawakan penyanyi pendatang Elke dan Michael Jakarmilena dengan lagu-lagu orisinalya.

Dari genre pop kreatif diluncurkan album “Indonesia 12” yang memuat 12 lagu pop kreatif yang sudah populer di masyarakat seperti “Emosi Jiwa” (Ost. Film Remaja Catatan Si Boy) dibawakan Yana & Lita, ”Astaga”, Ruth Sahanaya, “Jalan Masih Panjang”, Kelompok 7 Bintang, “Aku Jadi Bingung”, Malyda, “Tentang Kita”, KLA Project. Lagu yang dilansir oleh Nirvana Record ini bikinan Jepang. Jangan tanya kualitas suara, meskipun kompilasi ini sumbernya diambil dari berbagai master namun hasil rekaman album ini rata alias tidak belang. Jangan senang dulu. CD ini sudah punah di pasaran.

Penggemar musik pop 80an juga dilirik produser, artis-artis idola anda bisa ditemukan di CD kompilasi seperti “20 Karya Emas Rinto Harahap”, yang diedarkan oleh Musica Record tentu diharapkan mampu melepaskan kerinduan penggemarnya kepada musisi pop 80an seperti Iis Sugianto, Hetty Koes Endang, BetarĂ­a Sonatha, Broery Pesolima, Nia Daniaty, Nur Afni Octavia, Christine Panjaitan, Diana Nasution, Rita Butar-butar dan masih  banyak lagi.

Bagi penggemar musik Rock beberapa kompilasi yang ditawarkan tentu bisa menjadi pilihan, meskipun jumlahnya belum begitu banyak paling tidak album bertajuk “15 Rock Legendaris ” yang memuat komposisi dari musisi dan grup cadas tanah air seperti Nicky Astria, Achmad Albar, Mayang Sari, Ikang Fawzy, Anggun C Sasmi, 6 Bintang Rock, Gong 2000, Pakar Rock, dan New Rollies bisa menjadi penghuni rak CD anda.
Atau CD ”Super Star Rock Indonesia” yang didalamnya terdapat musisi dan grup rock tanah air seperti Hari Moekti, 8 Rock Power, Artis Rock Indonesia bisa menjadi alternatif pilihan.

Tak hanya itu ajang Festival Rock Indonesia yang pernah digelar beberapa tahun silam turut menjadi pilihan koleksi anda setelah album “10 Finalis Festival Rock Se-Indonesia Ke V, IX dan X” yang memuat antara lain kelompok Rock adal Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan kota-kota lumbung musik Rock lainnya di tanah air.

Lain Kompilasi lain pula album. Kaset 80 yang dipindahkan ke compact disc lebih banyak lagi. Tengok saja seluruh album Chrisye kini dapat ditemukan di gerai CD dalam bentuk keping CD. Lalu ada rekaman kelompok Jazz Karimata yang dialihkan menjadi CD pada album ”Lima”, ”Biting”, ”Pasti”, ”JEZZ”. Berturur-turut ada CD January Christy pada album ”Melayang”,”Aku Ini Punya Siapa”,”Mana” dan ”Collection”. Sayangnya album ”Tutup Mata” tidak ikut dicetak dalam bentuk digital. Dari musik Rock, sekitar empat album GodBless juga turut dirilis. Kelompok EDANE dengan ”The Beast, ”Jabrik” dan ”Edan”. Kelompok Elpamas, album Mel Shandy  dan Greates Hitsnya juga turut dilempar dalam bentuk CD. Penyanyi lainnya yang dicetak dalam bentuk CD antara lain, Malyda, Atiek CB,  Anggun C Sasmi, Ruth Sahanaya, Dian Pishesa, Poppy Mercury, Imaniar, Nike Ardilla dan masih banyak lagi

Melihat formasi dari setiap lagu yang dirilis, produser tampaknya ingin mempersembahkan sebanyak-banyaknya lagu-lagu yang pernah hits untuk  diperdengarkan kembali ke ruangan publik musik. Baik album maupun kompilasian. Meski masih banyak lagu-lagu yang di tahun 80an sampai sekarang masih sangat sulit dicari seperti dari genre musik Rock, Jazz, Pop Kreatif sampai ke musik Populer. Di penghujung tahun 2011 kita berharap produser mau berbaik hati memindahkan kaset kedalam format CD dengan harapan lagu hits era 80an kian terdokumentasikan lebih baik dan menjadi saksi bisu sejarah musik Indonesia yang pernah jaya. SEMOGA 
(Dicky Harisman/ Penikmat Musik, Ketua Forum Diskusi Musik 80)

Senin, 16 April 2012

Festival Lagu Populer Indonesia (FLPI) Menetaskan sejarah festival panjang di Indonesia


Perjalanan musik Indonesia era 80 tak dapat dipisahkan dari ingar bingarnya lomba cipta lagu dengan kemasan festival. Begitu banyaknya festival lagu di era tersebut seperti Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) 1997-1996 yang digagas Radio Prambors Jakarta, Festival Lagu Populer Indonesia (FLPI) yang pada awal kemunculannya bernama Festival Lagu Populer Tingkat Jakarta, Festival Rock Se-Indonesia yang digagas Log Zhelebour, Lomba Musik Rock 1987 yang dimotori Ian Antono dan Harry Anggoman, Lomba Cipta Lagu Pembangunan, Lomba Cipta Lagu Kebersihan, Lomba Cipta Lagu Hutan, Lomba Cipta Lagu Dangdut, Festival Lagu Pop Minang, bahkan Festival Pop Singers yang diselenggarakan di tingkat lokalpun tak kalah suburnya berkembang di era tersebut.

Dari sekian banyaknya jenis lomba lagu, Festival Lagu Populer Indonesia (FLPI), Festival Lagu Populer Asean (FLPA) dan Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR)  bisa dibilang ajang yang sangat bergengsi karena merupakan ajang seleksi penyanyi yang akan dikirim ke luar negeri. FLPI misalnya mengirim pemenang ke ajang ”Word Pop Song Festival” di Tokyo, sementara pemenang FLPA sendiri dikirim ke ajang ”Asean Pop Song Festival”. LCLR,  meski tak diiming-imingi kesempatan nyanyi di luar negeri namanya sangat membumi, beberapa artis terkenal turut ”dilahirkan” dari lomba ini seperti Chrisye, Utha Likumahuwa, James F Sundah, Irma June, Benny Soebardja, Purnama Sultan, Dhenok Wahyudi dan masih banyak lagi.


Meski diselenggarakan akhir 70an,  FLPI memiliki catatan panjang pada paruh tahun 80an hingga acara ini selesai digelar tahun 1991. Beberapa nama penyanyi menjadi  langganan di ajang ini seperti Harvey Malaiholo yang dijuluki macan festival lantaran sering menyabet predikat penyanyi terbaik, dan Vina Panduwinata yang hingga sekarang dijuluki si Burung Camar, karena lagunya berjudul Burung Camar menyabet predikat sebagai “Lagu Terbaik Tahun 1985. Vina juga berturut-turut menyabet Lagu terbaik melalui lagu ”Salamku Untuknya” 1983, ”Aku Melangkah Lagi” 1984, dan ”Burung Camar” 1985.


Selain nama penyanyi, beberapa musisi terkenal juga ”muncul” melalui ajang festival ini seperti Idris Sardi, Elfa Secioria, Yopie Widianto dan masih banyak lagi. FLPI benar-benar mencapai masa kegemilangannya di era 80an, terbukti dari animo masyarakat pencinta musik maupun seniman yang begitu besar setiap perhelatan akbar ini digelar.  Lagu-lagu para juara selain dilombakan di mancanegara juga turut dibuatkan kedalam format kaset dan laris diburu pencinta musik pop Indonesaia kala itu.
Tak sedikit hits lagu dari ajang beberapa festival direcycle, sebut saja lagu “Simphony Yang Indah” yang kembali dipopulerkan penyanyi Once Maikel.      


Karena sifatnya festival, lagu-lagu yang diikutkan lombapun lebih berbobot dengan kedalaman bahasa musik yang sangat kuat baik dari sisi musikalitas maupun lirik lagu yang ditulis dan dengan sendirinya mengesampingkan sisi komersial.


Inilah Catatan singkat tentang FLPI setiap tahunnya. FLPI 1980, tahun 1980 penyelenggaraan FLPI memasuki tahun ke delapan. Para finalis di tahun ini antara lain Anton Issoedibyo, Younki Soewarno, Robby Lea dan Tarida Hutauruk. Pemenangnya adalah Robby Lea dengan lagu ”Simphony Yang Indah” dibawakan penyanyi Ambon Bob Tutupoly. Lagu ini berhasil menjadi hits besar tahun itu. Hanya saja, lagu yang terpilih untuk mewakili Indonesia di ajang “World Pop Song Festival” di Tokyo adalah lagu ciptaan Roekanto & Esti berjudul ”Senja Merah yang dibawakan Marini.


FLPI 1981, tahun ini menjadi tahunnya Titik Hamzah setelah empat lagu ciptaanya, “Siksa”, “Kembara Di Tepi Senja”, “Legenda Cinta” dan “Letih” lolos menjadi finalis. Dari keempat  lagu itu, ada lagu berjudul ”Siksa” yang semula dibawakan Hetty Koes Endang, pada malam final dibawakan duet bersama penyanyi rock bernama Euis Darliah. Lagu ”Siksa” keluar sebagai jawara dan terpilih sebagai lagu yang berlaga di “World Pop Song Festival” di Tokyo. Di ajang ini duet Hetty & Euis berhasil mendapatkan predikat sebagai penyanyi berpenampilan terbaik.


Selain lagu itu ada satu lagu yang tidak kalah membumi, sebuah lagu ciptaan Tarida Hutauruk yang dibawakan Bornok Hutauruk berjudul ”Dirimu Satu” sebagai pemenang, dan juga berhasil menjadi juara saat mewakili Indonesia dalam ajang Festival Lagu Asean di Bangkok.
FLPI 1982, ajang lomba tahun 1982 merupakan awal keberangkatan Vina Panduwinata sebagai penyanyi festival, melalui lagu ”Bisikan Malam” penyanyi bersuara merdu ini mencuri perhatian dewan juri. Beberapa penulis lagu diajang festival 82 seperti Anton Issoedibyo dan Dani Mamesah boleh berbangga setelah tiga lagunya masuk ke babak final.


FLPI 1983 dan FLPI 1984, lagi-lagi menjadi tahunnya Vina Panduwinata, melalui lagunya ”Salamku Untuknya” tahun 1983 kembali memperlihatkan kehebatan penyanyi asal Bogor ini. Setahun kemudian di  FLPI 1984 Vina Panduwinata berjaya setelah dua lagunya ”Aku Melangkah Lagi” ciptaan Santoso Gondowijoyo dan ”Tuhan Ternyata Ada” ciptaan Anton Issoedibyo/ Andara Adly  menjadi pemenang. Vina mewakili indonesia dalam “Festival Lagu Pop” sedunia di Jepang..  Lagu lain yang berhasil menjadi hits dari ajang tahun ini diantaranya adalah ”Tabir Tercinta” Harvey Malaiholo dan ”Biru Selintas Rindu”, Utha Likumahuwa.


FLPI 1985 dianggap panitia FLPI sebagai ajang festival yang berhasil, betapa tidak dewan juri mendapatkan 12 lagu yang benar-benar bagus. Hampir semua lagu menjadi hits, dan  bisa berbicara di Festival Internasional seperti ”Burung Camar” ciptaan Aryono Huboyo/ Iwan Abdurahman dibawakan Vina Panduwinata. Lagu ini juga yang terpilih menjadi wakil Indonesia untuk berlaga di Tokyo, dan mendapatkan hasil yang cukup memuaskan.  Vina Panduwinata “diganjar” Kawakami Awards pada Festival Lagu Internasional di Budokan Tokyo Jepang.


FLPI 1986, setelah Vina berjaya, giliran Elfa Secioria dan Wieke Gur, duet komposer ini mencapai puncaknya di tahun tersebut. Mereka mengirimkan empat lagu yaitu ”Seandainya Selalu Satu”, ”Ucaplah Untuk Terakhir”, ”Ayun Langkahmu” dan ”Benang Asmara”. Dua lagu mereka ”Seandainya Selalu Satu” dan  ”Ayun Langkahmu”masuk final. Lagu ”Seandainya Selalu Satu terpilih mewakili Indonesia di ajang “World Pop Song Festival” di Jepang dan sukses membawa harum bangsa karena Harvey Malaiholo berhasil menyabet penghargaan paling bergengsi sebagai penyanyi terbaik.


Sepanjang sejarah FLPI digelar, penyelenggaraan FLPI tahun 1987 berhasil secara komersial. Dewan juri memilih lagu yang bagus secara kualitas tetapi juga menjual dan mudah diterima pasar. Tak heran, hampir semua lagu finalis berhasil menjadi hits. Nama-nama komposer seperti Guruh Soekarno Putra, Yovie Widianto, Elfa Secioria, Dadang S Manaf dll turut menulis lagu di ajang ini. Begitu pula dengan penyanyinya, tak kurang dari Dian Pieshesha, Ermy Kullit, Nicky Astria, Harvey Malaiholo membawakan lagu-lagu-lagu pemenang.


Lagu yang berhasil menjadi juara adalah “Kusadari”, ”Kembalikan Baliku” dan “Pesta”, sementara lagu yang terpilih mewakili Indonesia di ajang “World Pop Song Festival” adalah lagu ”Kembalikan Baliku” yang dibawakan Jopie Latul dengan dukungan aransemen kuat serta koreografi yang rapi  dari GSP, Jopie berhasil mendapatkan penghargaan Kawakami Awars. Lagu “Kusadari”  juga berhasil menjadi pemenang ketika dikirim mewakili Indonesia di ajang Asaen Popular Song Festival tahun 1988.


Ditengah kejenuhan dan penyelenggaraan FLPI tahun 1988 ada sedikit  kejutan, setelah menteri Fuad Hassan dan Siti Hardiyanti Rukmana mencoba menulis dan lolos menjadi finalis. Keduanya berkolaborasi bersama Titik Hamzah menciptakan lagu dengan judul "Perjalanan Panjang” . Lagu pemenang adalah “Kau Kasihku” yang dibawakan Elfa’s Singers. Pada saat yang bersamaan “World Pop Song Festival” di Tokyo tidak lagi diselenggarakan, sehingga pemenang FLPI tahun tersebut tidak dikirim luar negeri. Sebagai gantinya, lagu “Kau Kasihku” dikirim ke Asean Pop Song festival dan berhasil menjadi pemenang kedua.
Festival Lagu Populer Indonesia tahun 1989 menunjukkan dominasi musisi Bandung yang begitu kuat. Dari daftar finalis, sebagian besar adalah komposer dari Bandung  seperti Yovie Widianto, Ferina, Iwan Wiradz, Hentriesa dll. Beberapa hits muncul dari album ini seperti “Ini dan Itu” Ruth Sahanaya, “Sudahkahku” Connie Constantia, “Bias Warna” Utha Likumahuwa, “Berdua” Mus Mujiono dan “Aku Suka Kamu Suka” Hari Mukti dan Cantora Geronimo.

FLPI 1991 menjadi perhelatan akbar musik Indonesia terakhir dengan meninggalkan jejak sejarah musik yang sangat manis. Lagu “Kisah Kehidupan” Trie Utama / Utha Likumahuwa menjadi pemenang dalam ajang ini. (Dicky Harisman/ Ketua Forum Diskusi Musik 80)

Album Jazz Indonesia, Melesak Tanpa Promosi



MENYEBUT nama Geliga, ingatan Anda akan langsung tertuju pada sebuah merk balsam gosok. Padahal Geliga yang saya maksud adalah kelompok Jazz dengan idiom Jazz Melayu asal Pekanbaru. Ya! kelompok Jazz fenomenal yang dimotori Eri Bob (piano/keyboard) ini adalah salah satu dari sekian banyak kelompok Jazz Indonesia yang jangankan karyanya, namanyapun asing di kuping orang kebanyakan.

Nasib Geliga tidak berbeda jauh dengan kelompok Ligro, NERA, Canzo, Heaven on Earth, Rhyo-J, Cherokee, Co-P, ataupun Canizaro. Nama-nama kelompok ini secara musikalitas maupun pengalaman bermusiknya sudah tak lagi diragukan, namun nama mereka masih kalah pamor bila dibandingkan dengan kelompok musik bergenre Easy Jazz lain semisal Ecoutez (baca Ekute), Park Drive ataupun Clorophyl yang dari sisi promosi memiliki kesempatan dikenal lebih banyak.

Seperti sudah rembugan sebelumnya, musisi ataupun kelompok Jazz Indonesia  tidak terlalu pusing memikirkan albumnya saat dilempar ke pasar, mencapai Best Seller atau malah jeblok.  Bagi mereka sebuah karya tidak dihitung atas berhasil atau tidaknya karya mereka diterima penikmat musik. Banyak musisi Jazz tanah air memutuskan untuk membuat proyek rekaman sendiri atau merger dengan sesama musisi lalu memasarkannya pada pasar yang sudah jelas. Alasannya lebih ke persoalan kepuasan dalam menghasilkan suatu karya.

Alhasil dengan kondisi seperti itu hasil karya mereka menjadi eksklusif, bahkan menjadi sesuatu yang bernilai yang hanya dapat ditemukan di gerai yang khusus menjual produk CD/kaset Jazz Indonesia ataupun penjualan CD/kaset secara online. Kalaupun ada yang dijual ke pasar bebas biasanya dijual dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Dengan kondisi seperti ini jangan heran bila seorang penikmat musik Jazz yang tidak terlalu rajin berselancar di internet atau bertanya kiri kanan bertanya kepada sesama kolektor bakal ketinggalan musik Jazz terbaru.

Indra Lesmana misalnya. CD Limited Edition yang dikerjakan bersama Prabudidharma dan Gilang Ramadhan bertajuk Kayon “Tree Of Life” tahun 2007 lalu,  pengerjaan albumnya dikerjakan sendiri di Inline Record-Indra Lesmana Music. Konon CD dengan dominasi corak musik Bebop itu dibuat khusus menjelang pertunjukkan Indra Cs ke Jerman. Langkah Indra juga pernah dilakukan sebelumnya oleh kelompok Jazz  4peniti di album ”4peniti” tahun 2005. Kelompok yang didalamnya dibangun oleh Zaki (vokal-gitar), Ammy (biola-mandolin), Ari (drum-piano), Rudy (contra-bass) ini  mengerjakan albumnya sendiri. Album kelompok Jazz asal Bandung  yang setiap kehadirannya selalu disambut publik Jazz ini juga sukses di pasar musik Jazz.

Selain mereka ada kelompok Fusion asal Jakarta, Heaven On Earth yang membuat album Limited dan memasarkannya sendiri, kemudian gitaris asal Denpasar Bali, Koko Harsoe yang merampungkan solo album “Mainan” tahun 2000 dimana dia berjibaku menjadi produser untuk album CD berisi delapan nomor Jazz tersebut. Selebihnya ada juga artist yang sekaligus menjadi produser untuk albumnya namun proses penggarapannya dipercayakan kepada perusahaan lain, sebut saja gitaris GIGI, Dewa Bujana di albumnya ”Nusa Damai” (1997) yang banyak diburu pencinta musik Jazz itu karena keunikan lagunya. Di albumnya Bujana mempercayakan proyeknya kepada Chico & Ira Productions yang pada perkembangannya banyak  mengapungkan musisi handal di negeri ini, seperti keyboardis Krishna Balagita di album “Sign of Eight” yang dirilis tahun 2002. Sedikitnya tercatat musisi tamu seperti Indra Lesmana, Gilang Ramadhan, Dewa Budjana, Tohpati, Indro Hardjodikoro dan  Arief Setyadi mendukung proyek album keyboardis Ada Band tersebut. Meski tergolong mahal penjualan CD ini juga terhitung sukses.

Di luar dua album diatas ada juga musisi/ kelompok yang  membuat album rekaman dibawah bendera  Chico & Ira Productions adalah Simak Dialog pada album ”Baur” (1999) dan ”Trance/Mission” (2008) yang merupakan kerja barengnya dengan Musikriza.

Hal serupa juga diikuti kelompok Jazz asal Pekanbaru, Geliga. Di albumnya ”Instrumental Jazz Melayu Riau” Geliga mempercayakan garapan albumnya kepada MaDAS Enterprise Pekanbaru Riau yang meski dalam hasil tata suara tidaklah begitu prima namun dari sisi musikalitas kelompok yang pernah hadir di helatan musik ”World Jazz” Bandung yang pertama ini patut mendapat acungan jempol.

Seiring dengan perkembangannya lalu muncul label  untuk musik asal New Orleans ini di Indonesia seperti Indie Jazz yang ditahun 2007 lalu mengerjakan album rekaman  kelompok Totong Wicaksono dkk, Canzo. Indie Jazz juga sukses merekamkan proyek kelompok Geliga di tahun yang sama di album ”Dang Bulan Nan Julang (Malay Jazz)”

Beberapa perusahaan-perusahaan rekaman ternama seperti Sony  Music dan BMG Music Indonesia juga ikut andil mengerjakan rekaman musik Jazz tanah air. Sony Music misalnya, perusahaan terkenal ini berhasil mencetak album Dewa Bujana, ”Home”, ”Gitarku” dan ”Samsara” sejak tahun 2005 serta rekaman musisi Jazz senior Dwiki Dharmawan di album ”Nuansa” (2002). Meski tanpa gembar-gembor sebelumnya, CD ini laris manis tanjung kimpul saat di lempar ke pasaran, hal ini boleh jadi dimungkinkan karena nama besar yang disandang Dwiki dan musisi yang juga mendukung proyek Dwiki seperti Dian Pramana Poetra, Oelle Pattiselano, Steve Hunter, David Jones, Mike Stern, Richie Morales, Glenn Willson. Seperti judul albumnya rasanya CD ini benar-benar menambah nuasa baru bagi musik Jazz  tanah air.

Kerjabareng musisi dengan perusahaan rekaman bukanlah harga mati, musisi yang sudah tidak terikat kontrak bisa saja memutuskan mencari perusahaan rekaman sendiri, seperti dilakukan musisi Jazz Tohpati. Gitaris Trisum dan Simak Dialog ini pernah mencetak tiga albumnya bertajuk  ”Tohpati”, ”Serampang Samba” dan ”It’s Time” di perusahan Sony Music. Gitaris Simak Dialog itu kemudian memutuskan hijrah dari Sony Music saat menggarap album solonya yang keempat bertajuk ”Save For The Planet”

Di album bergambar planet tersebut Tohpati memperlihatkan seluruh kemampuannya. Idiom bermusiknya banyak dipengaruhi unsur musik Fusion hingga Progresiv. Pada album keempatnya Tohpati menggandeng  kawan karibnya basis Indro Hardjodikoro Demas Narawangsa pada drums dan saxoponist kelompok legendaris Yellow Jackets, Bob Mintzer—Tohpati juga pernah mengundang Erick Marienthal sebagai musisi tamu di album pertama— Penggarapan album keempat Tohpati jatuhk pada Demajor’s.

Perusahaan rekaman besar seperti BMG Music Indonesia pernah mengerjakan proyek rekaman Indra Lesmana, Reborn (2000) Album gemilang Indra yang merupakan comeback nya Indra ke blantika musik Jazz setelah lama vakum itu didukung musisi jazz seperti A.S Mathes,  Dewa Bujana, Ermy Kullit, Bertha serta perkusionis Ron Reeves.

Di tahun 2005 BMG kembali mendukung album Indra bertajuk ”Silver” yang merupakan album retrospeksi perjalanan bermusik seorang Indra Lesmana selama 25 tahun. Indra ingin berreuni dengan beberapa lagu yang pernah dia tulis sepanjang karier bermusiknya baik dari album solonya maupun saat membentuk kelompok yang pernah membesarkan namanya seperti NEBULA (dibangun bersama musisi Steve Hunter, Ken James dan Vince Genova, saat Indra menimba ilmu di Sidney, Australia) ataupun kelompok Java Jazz bersama Gilang Ramadhan, A.S Mathes, Donny Suhendra dan Embong Rahardjo. Sebagai catatan di album Silver Indra sukses berkolaborasi dengan beberapa musisi seperti gitaris Eet Syahranie, rapper Iwa K, Eki Puradiredja (Humania) Thomas Ramdhan (Gigi) Aksan Syuman dan  Rieka Roselan (The Groove) pada lagu ”Distorsi Jiwa” yang merupakan ekspresi keprihatinan seorang Indra atas peristiwa bom di J.W Marriot Jakarta beberapa tahun silam.

Konsep musik apapun yang ditawarkan musisi Jazz Indonesia kepada pencintanya selalu direspon baik, ada atau tidak ada promosi sebelumnya, toh Musik Jazz Indonesia  tetap survive dan mampu menjadikan dirinya sebagai tuan rumah di negerinya sendiri.
(Dicky Harisman, Penikmat Musik tinggal di Bandung)
Kelompok Jazz Rock asal Jepang, Casiopea


Musik Indonesia 80an Datang dari Berbagai Mancanegara

Bicara sejarah musik Indonesia 80an rasanya tak lengkap  jika tak membicarakan juga musik dunia pada umumnya. Banyak Grup band maupun penyanyi solo dari berbagai genre musik masuk ke tanah air, mereka menawarkan banyak pilihan musik seperti   Pop, Reage, Jazz, Disco, Rock, Punk Rock hingga ke New Wave.

Sama halnya dengan musik Indonesia 80, musik mancanegara yang masuk ke tanah airpun memiliki karakter lagu yang sangat kuat,  melodius, memperhatikan harmoni dan kematangan pada karyanya. Musisi memiliki totalitas dan tanggung jawab pada karyanya bukan pada kepopuleran semata.

Musisi 80an dari mancanegara banyak yang berasal dari kelompok band, meski tak sedikit yang berangkat sebagai seorang solois. Beberapa grup tahun 80an yang sampai sekarang masih dikenal diantaranya  kelompok Earth Wind And Fire, Kool And The Gank, Wham, Duran-Duran, Foreigner,  Heatwave, Spandau Ballet, Chicago, kelompok asal Australia  Air Supply, kelompok Progresive Rock Toto,  Level 42 sampai kelompok Jazz asal Inggris dengan nuansa latin, Matt Bianco.

Diluar nama-nama kelompok band  diatas ada juga deretan nama yang terkenal kala itu, sayang debutnya tak sempat terdengar lagi dikalangan  generasi muda sekarang seperti Fat Larry's Band,  Gazebo, Man At Work, Swing Out Sister, Carabao, Alphavile,  Pointer Sister, Arcadia, A-ha, Bananarama, Tears For Fears, Leons Haines Band, Spargo sampai ke grup pengusung Pop Disco, Modern Talking.

Sementara dari penyanyi solo tercatat nama-nama seperti raja musik Pop, Michael Jackson, Stevie Wonder, Madonna, Whitney Houston, Cyndi Lauper, Debbie Gibson, Gloria Estefan, Irene Cara, Laura Branigan, Reo Speedwagon, Lionel Richie, Basil Valdez, Rico J Puno, Bruce Sprengteen, Rick Springfield, Steve Pery, Kylie Minogue, Tina Turner, Elton John, Rick Astley, Billy Ocean, Bony Tyler, Peabo Bryson, Jim Diamond, Dan Byrd, Nik Kershaw dan masih banyak lagi.

Dari ranah musik cadas kita bisa menyebut kelompok Progressive Rock asal Inggris yang dibangun oleh John Anderson, Bill Bruford bernama “Yes” melalui lagunya “Owner Of Lonely Heart, 1983”. Kelompok yang berdiri  sejak tahun 1968 ini telah mengeluarkan lima album sepanjang dekade 80. Lalu ada kelompok Progressive Rock legendaris lainnya yang dikenal sejak tahun 1967, Genesis. Kelompok kharismatik ini dikenal publik Musik 80 setelah sang drumers Phill Collins menggantikan posisi Peter Gabriel pada vocal. Alhasil ditangan seorang Phill Collins, kelompok yang terkenal dengan lagu-lagunya “Home By The Sea”, “Mama”, “That’s All” dan “Abacab”  ini lebih dikenal anak muda 80 khusus pencinta Musik Rock.

Diluar Yes dan Genesis ada grup Rock asal Amerika yang dibangun Eddie Van Hallen dan Alex Van Hallen bernama Van Hallen. Meski dideklarasikan tahun 1978, Melalui lagunya “Jump” dan  “Panama”  1984, Van Hallen dikenal publik musik 80an di Indonesia, sedangkan dari Hannover Jerman, ada Klaus Maine dengan kelompoknya Scorpions yang turut memetakan Musik Rock 80 di Indonesia di awal dekade 80 dengan album “Animal Magnetism”.

Dari Swedia tercatat grup Rock “Europe” yang sukses dengan lagunya “Final Countdown 1986”, sedangkan dari Inggris ada kelompok beraliran New Wave yang dibangun Sting, Andy Summer, dan Steward Coppeland, The Police. Trio musisi yang diamini juga sebagai kelompok yang menghembuskan mode pakaian dengan jas berwarna cerah  dan gaya rambut Sting yang melegenda ini  melejit melalui lagunya “De do do do De da da da”, “Roxanne”,” Every Little Thing She Does Is Magic”. Sayang Grup ini harus mengakhiri kariernya dengan melepas album terakhir “Synchronicity” tahun 1983. Dari kantung album mereka yang terakhir  melejit hits lagu yang hingga sekarang sudah didaur ulang puluhan penyanyi  berjudul “Every Breath You Take”.

Dari kubu Jazz ada kelompok Fusion/Jazz Rock asal negeri Sakura Casiopea. Kelompok bentukan Issei Norro dan Tetsuo Sakurai pada tahun 1976 ini termasuk kelompok yang getol mengeluarkan album di era 80. Karya-karya kelompok Casiopea sangat membumi, mereka memainkan melodi-melodi  yang bernas, tidak jlimet namun memiliki pakem Jazz yang solid pada musiknya. Kelompok yang terkenal karena lagu “Halle”,” Down Up Beat”,  “Asayake”, “Misty Lady” itu dipuja bagai “dewa” sampai sekarang oleh pemujanya.
Selain kelompok Casiopea, kita juga mengenal kelompok RAH Band, Azymuth, Imaginations,  Everything But The Grils dan  kelompok Fusion yang melegenda, Shakatak yang terkenal gara-gara lagunya “Night Bird”.

Dari deretan penyanyi Jazz solo ada nama George Benson, Al Jareau, Michael Frank, Tania Maria, Sade Adu, Gal Costa, Randy Goodrum, Ray Parker Jr, James Ingram,  Bobby Caldwell, Eric Tagg, Viktor Lazlo, Marie Taylor, Angela Bofill hingga Kenia.
Beragamnya genre musik yang ditawarkan di kala itu membuat beberapa perusahaan rekaman membuat kumpulan lagu-lagu yang sempat hits, seperti perusahaan rekaman Billboard dengan “Bilboard HOT 100” kemudian perusahaan rekaman Kings dengan “Hits Of The World” yang merangkum lagu-lahu hits dari berbagai genre secara periodik sejak tahun 1982. Tidak hanya musik pop, dari genre Jazz kita juga bisa mendapatkan kompilasi lagu terbaik seperti pada album Jazzy Tunes, Top Jazz Vocal atau pun Jazz Female Vocal yang memuat lagu-lagu Jazz terfavorit.

Histeria pencinta musik 80 tak hanya ditunjukkan dengan menikmati kaset-kaset dari artis idolanya saja, namun penampilan gaya mereka diatas panggungpun menjadi kiblat mode remaja 80an. Salah satunya adalah kelompok New Wave/Electronik Pop asal Birmingham Inggris, Duran-duran. Tak ayal, kegantengan Simon Le bon, Andy dan John Taylor  membuat kaum adam beramai-ramai pergi ke salon untuk mengubah rambutnya layaknya artist idola mereka. Begitupula dandanan gaul cowok 80 dari jas gaul hingga celana panjang baggy gombrang pun turut menjadi mode kala itu.

Fenomena Musik dance dengan gerakan patah-patah, “Break Dance” yang biasanya dimainkan ditempat umum seperti  di jalanan ramai dihakimi juga sebagai imbas mengapa remaja gaul Indonesia pada saat itu  turun ke jalan. Menjelang sore hari remaja-remaja 80’an biasanya memadati jalanan sambil menenteng tape compo dan memainkan tarian patah atau tari kejang. Kegiatan illegal remaja gaul 80 ini kerap diuber-uber polisi karena dianggap mengganggu kenyamanan pengguna lalu lintas. 

Kehadiran vokalis nyentrik yang sering tampil dengan gaya perempuan, Boy George dengan kelompok “Culture Club”nya sempat mencuri perhatian publik Musik 80. Grup asal London Inggris ini banyak memainkan aliran New Wave, Blue-eyed soul sampai ke Pop Reage yang menawan seperti pada lagu “Do You Really Want To Hurt Me”. Kelompok ini melejit melalui lagu wajib mereka “Karma Chamelon”. Culture Club menjadi identik dengan Musik 80.
Memetakan kembali perjalanan musik 80an mancanegara yang masuk ke Indonesia tidak akan cukup dalam satu tulisan, masih banyak yang belum sempat diulas di forum ini. Tetapi penulis berharap bahwa apa yang telah  dipaparkan setidaknya membuka kembali ingatan kita sambil bernostalgia dan mengingatkan bahwa sejarah musik di Indonesia pernah mencatat sejarah manis dalam industri musik lewat kehadiran musisi mancanegara. 
(Dicky Harisman, Penikmat Musik /Ketua Forum Diskusi Musik 80)

Jumat, 13 April 2012

Album Keroyokan "Mewabah" di Era 80

CD Musik Kompilasi Indonesia (Koleksi Pribadi)


Album keroyokan jadi istilah yang populer di era 80an. Peta musik Indonesia dengan gamblang memetakannya kepada kita tentang berbagai kisah manis yang tersampaikan indah mulai dari  geliat musik pop kreatif, merebaknya komunitas Fans Club, munculnya penyanyi legenda, musik tema untuk film remaja, sampai ke album yang digarap beberapa musisi. Ya! Musik Keroyokan. Salah satu tren yang terjadi di musik Indonesia paruh dekade 80 hingga 90an yang akan dikupas di forum ini. 

Ikon album keroyokan di tahun 80an yang populer adalah kelompok Adjie Soetama Cs, “Suara Persaudaraan” yang terilhami oleh sukses Bob Geldof dengan ”USA For Africa”nya. Melalui seorang komposer besar, James F Sundah pada tahun 1985 direkrutlah lebih dari 50 artis Indonesia yang memiliki nama besar seperti Adjie Soetama, Utha Likumahuwa, Lydia, Imaniar, Tika Bisono, Nicky Astria, Ikang Fawzi, Jopie Latul, Iwan Madjid, Ricky Basuki dan lain-lain. Dari kantong album eksklusif ini meluncur  hits  “Anak-anak Terang”, ”Kuajak Kau Kembali” dan  ”Pilar Harmoni”.

Berikutnya muncul kelompok 7 Bintang yang terdiri dari penyanyi ternama saat itu. Mereka adalah Dian Pramana Poetra, Deddy Dhukun, Trie Utami, Malyda, Atiek CB, Mus Mudjiono dan Fariz RM. Melalui lagunya “Jalan Masih Panjang” kelompok ini mempertegas kembali eksistensi mereka di belantika pop kreatif sebagai seorang solois dan penyanyi kelompok yang solid. Lagu mereka “Jalan Masih Panjang” mencapai kesuksesan di tahun 1988. Mereka mengulang sukses kedua dengan merilis lagu “Jangan Menambah Dosa”.

Kemunculan Vina Panduwinata, Trie Utami, Atiek CB dan Malyda yang membaurkan kemampuan suaranya kedalam satu grup bernama Rumpies di tahun 1988 menambah panjang catatan sejarah. Melalui lagu “Nurlela” ciptaan Sam Bobo dan Deddy Dhukun mereka mencuri perhatian publik, sampai-sampai BASF menobatkan kelompok ini penghargaan “Album pop kreatif terlaris 1990”. Namun sayang kelompok ini hanya bertahan sebentar, mereka resmi “bercerai” setelah album ketiganya keluar.

Sementara dari kubu musik Rock tercatat kelompok yang menamakan dirinya Bintang Rock Indonesia (BRI)  tahun 1989. Mereka adalah Achmad Albar, Ikang Fawzi, Renny Jayusman, Anggun C Sasmi,  Freddy Tamaela dan Cut Irna. Lewat single mereka berjudul “Kuserahkan”. Beberapa penyanyi Rock pun didaulat untuk turut mendukung album ini seperti Gito Rollies & Eddie Endoh, Euis Darliah, Achmad Albar, Deddy Stanzah dan Delly Rollies.

Selain BRI, masih ada grup lain bernama “Pakarock” yang terdiri dari Achmad Albar, Ikang Fawzi dan Nicky Astria di tahun 1990. Lagu mereka berjudul “Jangan Bedakan Kami” termasuk laris di pasaran. Pendukung single album ini diantaranya Anggun C. Sasmi, Eddie Endoh, Freddy Tamaela dan Farid Harja.
Selain grup keroyokan ada juga single dari penyanyi yang sebagian track lagunya diisi oleh penyanyi/musisi lain, seperti yang dilakukan komposer besar Indonesia almarhum Dodo Zakaria pada album “Mallisa”. Dodo mempercayakan ke banyak musisi seperti Utha Likumahuwa, Dian Pramana Poetra, Nicky Astria, Vina Panduwinata sebagai musisi tamu. Dari kaset ini mencuat lagu “Akira”, Utha Likumahuwa,  ”Cap Lang ”, Nicky Astria dan ”Gadis Kepang Dua”, Dodo Zakaria.

Dari genre musik yang sama diluncurkan pula album Oddie Agam yang merilis album bertajuk “Oddie”. Di album keempatnya, pencipta lagu “Antara Anyer dan Jakarta” itu menggandeng Vina Panduwinata berduet di lagu “Tamu Istimewa”. Selebihnya ada lagu “Bojoku” dibawakan Anggun C Sasmi, “Menunggu”, Oddie Agam & Asti Asmodiwati, “Bebaskan Asmara”, Oddie Agam & Malyda  dan masih banyak lagi.

Musisi yang juga membuat album serupa adalah  Mus Mujiono dan Eramono Soekaryo. Mus Mujiono merilis album “Indonesia 10” dengan tembang unggulannya “Mesra” yang juga mengundang  banyak penyanyi tamu seperti Dian Pramana Poetra, Vonny Sumlang, Deddy Dhukun, Nunung Wardiman dan Jopie Latul. Kemudian ada keyboardis grup Jazz Spirit, Eramono yang mengeluarkan album yang sama dengan namanya “Eramono”. Munculnya hits seperti “Kenangan Asmara” (duet dengan alm. Andi Meriem M), “Bagaimana”, Eramono dan “Gairah”, Shanti dimungkinkan karena album ini digarap secara serius oleh lulusan Berkley College Of Music Boston.

Dari musik beraliran keras ada beberapa penyanyi yang mengeluarkan single album  seperti Anggun C Sasmi dengan single “Mimpi” tahun 1990, yang merupakan awal karir Anggun di belantika musik Indonesia. Melalui lagu karya Teddy Sujaya & Pamungkas NM nama Anggun mencuat ke permukaan dengan cepat. Beberapa musisi yang ikut mendukung album Anggun adalah Deddy Stanzah, Gito Rollies dan Deddy Dores. Di album ini ada juga lagu “Bayang-Bayang Ilusi” yang turut dilahirkan.
Semangat Anggun tidak berhenti sampai disitu, setelah single “Mimpi” dilepas single “Takut” buah karya Mus Mujiono dan Deddy Dhukun pun ditawarkan kepada pasar. Ada nama penyanyi beken saat itu seperti Cut Irna, Freddy Tamaela, Lady Avisha dan Farid Hardja.
Tawaran semakin beragam
Pasar musik Indonesia semakin dimanjakan dengan kehadiran kompilasi yang merupakan keroyokan penyanyi atau grup, baik pendatang maupun yang sudah punya nama besar seperti terangkum dalam kaset “10 Bintang Nusantara” 1987. Dengan keberaniannya mencoba menawarkan grup-grup band baru seperti KLA Project, Indonesia 6, Punk Modern Band, Dimensi Band dan Wachdach Band. Kompilasi ini berpihak kepada band beraliran pop progresif KLa Project sebagai band yang mendapat tujuh penghargaan BASF Award melalui lagu berjudul “Tentang Kita”.

Kesuksesan album ini diikuti dengan album kedua berjudul “10 Bintang Nusantara-2” yang menderetkan nama-nama musisi dan band anyar seperti Andy Ayunir, Kangaroo Band, Kahitna, Modulus Band dan  Guest Band..


Peta  musik Indonesia pada dua dekade 80-90 benar-benar diwarnai fenomena keroyokan. Tengok saja album kaset yang keluar saat itu, sungguh menawarkan banyak pilihan. Ini dia sebagian kaset yang dirilis, “Duet Plus” 1988 (“Bingung”, Yessy Robot dan Kiki Maria);   “Indonesia’s Top 10 1989” (“Kau Kasihku”, Elfa’s Singers, “Kesan Pertama”, Didi Bofa); “Model Indonesia 1990” (“Belum Tahu”, Ruby Wiriadinata); “Sepuluh Bintang Khatulistiwa  1988” (“Dansa Suka-Suka”, Utha Likumahuwa, “Indah” Ricky Basuki, “Memory Yang Lucu” Ryan Kyoto); “12 Lagu Terbaru 1988” (“Semua Jadi Satu”, Dian/Deddy Dhukun Feat Malyda, “Selamat Untukmu”, Jakarta Rhythm Section); “10 Vokalis Utama Bintang Khatulistiwa” (“Biarkan Saja” Neno Warisman, “Maaf”, Trie Utami); “12 Jazz Spot 1987” (“Kita Berdua”, Cici Sumiati, “Bawalah Cintaku”, Christ Kayhatu); “12 Jazz Favorit’87” (“Keraguan”, 2D, “Gemilang”, Krakatau); “Super Disco Indonesia 1989” (“Anak-Anak Sekarang”, Gito Rollies & Eddie Endoh,  “Pesta Disco”, Cut Irna).



Album keroyokan milik sejarah musik Indonesia dekade 80-90an, lepas dari  perdebatan kehadirannya dituding sebagai proyek rekaman belum siap materi, alasan aji mumpung sampai alasan lainya, setidaknya karya-karya gemilang yang dihasilkan musisi-musisi itu kini masih menjadi bukti indah yang bisa didengar kapan saja sambil bernostalgia sekedar mengingatkan bahwa Indonesia pernah mencatat sejarah manis dalam industri musik. (Dicky Harisman, Ketua Forum Diskusi Musik 80)