![]() |
Gitaris Tohpati |
Geliat musik jazz tanah air dalam sepuluh tahun terakhir terlihat sangat
menggembirakan. Beberapa gelaran konser Jazz musisi lokal maupun mancanegara seakan
memberi aksen kondisi tersebut. Jazz seakan bangun dari tidur lelapnya. Meski
terseok-seok, secara samar musik jazz Indonesia mulai menampakkan aktivitasnya.
Lumayan dibandingkan dengan tahun 90-an, musik jazz Indonesia kini mengalami kenaikkan,
meski jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari.
Gebrakan jazz Indonesia
sebenarnya sudah dimulai sejak akhir 1999 lalu, angin segar ini dihembuskan
gitaris Tohpati, gitaris cerdas yang menjadi trensetter musik Jazz Indonesia
merilis album solonya yang berjudul “Tohpati”. Di album pertamanya, gitaris
Simak Dialog dan Halmahera itu memainkan musik
bercorak Fusion hingga easy listening
yang renyah. Permainan gitarnya mengingat kita pada gaya bermain gitaris Lee Ritenour, Tommy
Emanuelle ataupun Rush Freeman.
Di album solonya Tohpati tidak
sendiri, ia menggandeng beberapa nama musisi/penyanyi seperti Ari
Malibu, Glen Fredley, Sakhila, serta
saxoponis yang sering kerjasama dengan pianis Chick Corea, Eric Marienthal. Meski banyak menawarkan sentuhan jazz, Tohpati
tampaknya jeli melihat pasar. Ia menerobos, merusakkan sekat musik Jazz yang
hingga saat ini dipandang sebagai musik berat di mata anak remaja. Tak heran
kalau beberapa lagunya terdengar sangat “ramah” di telinga pendengar musik Indonesia ,
di luar Jazz sekalipun.
Selain Tohpati ada pula beberapa
penyanyi dan kelompok jazz yang membuat album di tahun tersebut, sebut saja
penyanyi Iga Mawarni yang merilis album “Iga Lagi”, di album hasil kerjasama
dengan musisi senior, Dodo Zakaria, Iga juga menggandeng Peter F Gontha sebagai
lawan duetnya di lagu “Ada Apa “. Berikutnya kelompok pengusung Accic Jazz, The Groove mengapungkan
album “Kuingin”, disusul Discus 1St
yang mengawinkan musik diatonis dan pentatonis dalam abulm perdananya. Gitaris
asal Bali, Balawan bersama kelompok Balawan
Batuan Ethnic Fusion, membaurkan musik barat dengan etnik Bali di album “Globalism”, kemudian Java Jazz
mengangkat komposisi Jazznya yang punya warna khas dengan mengeluarkan album
“Bulan di atas Asia”.
Setelah gebrakan penyanyi dan
kelompok di atas, jazz Indonesia
kembali lagi sunyi dari pendengaran, praktis memasuki tahun berikutnya jazz Indonesia
kembali melempem. Kondisi ini amatlah kontras jika dibandingkan dengan
perkembangan musik Jazz Indonesia pada era tahun 80-an. Dalam paruh tahun
tersebut banyak bermunculan penyanyi serta kelompok Jazz yang sangat beragam.
Sebut saja nama kelompok Karimata, Krakatau ,
Spirit, Black Fantasy, Bhaskara, Emerald dan masih banyak lagi. Dari
penyanyi/musisi yang berangkat sebagai
solois, kita bisa menyebut nama-nama Dian Pramana Putra, Henry Manuputi,
Christ Kayhatu, Indra Lesmana, Vony Sumlang, Nunung Wardiman, Cici Sumiati,
Yopie Latul dan Rien Djamain. Yopie Latul belakangan hijrah ke jalur pop bahkan ke dangdut.
Dibanding sekarang, musik Jazz
Indonesia pada saat itu lebih leluasa berkembang, karena belum banyak jenis
musik lain yang masuk ke tanah air.
Tapi bukan berarti tahun-tahun
ini jazz Indonesia tak bisa
bersanding dengan musik lainnya, andai saja komposisi jazz yang disodorkan mau
sedikit “bargaining”, dengan keinginan pasar musik, niscaya jazz tanah air akan
kembali dilirik generasi muda yang belakangan memang tidak terlalu suka mengapresiasi
musik asal New Orleans
itu.
Bergaining, dalam artian penulis
lagu jazz yang dibuat mesti jeli melihat pasar musik yang kenyataannya banyak
didominasi kawula muda. Jazz selama ini cenderung lebih mengedepankan idealisme bermusik, jazz dicap kurang
mendengar keinginan pasar. Lihat saja, bagaimana komposisi musik berat ini
dibangun oleh beberapa instrument musik yang sangat asing ditelinga anak baru
gede. Dengan ramuan musik seperti itu jazz semakin sulit diapresiasikan
pendengar dari kalangan ini, Alhasil jazz cuku puas didengar dan dimainkan para
generasi tua saja, atau beberapa gelintir kaum muda yang memiliki tingkat
apresiasi musik lebih tinggi.
Tapi bukan berarti juga musisi
jazz harus putar haluan, ”melacurkan diri” membuat komposisi lagu murahan yang
minimalis. Setidaknya kita bisa berkaca pada apa yang dilakukan musisi jazz
manacenagara seperti gitaris Lee Ritenour,super gurp Four Play, Yellow Jackets,
The Rippingtons. Jika kita simak, musik yang mereka bangun terasa enteng di
telinga, namun secara umum tetap ada pendalaman. Itulah sebabnya musisi dan kelompok yang disebut
di atas mampu menyedot banyak penggemar dari kalangan ini.
Kembali kepada kesimpulan bahwa generasi muda (usia 17 s/d 35 th) adalah
pasar yang baik bagi perkembangan musik global di tanah air. Sebab tanpa
keberadaan mereka yang notabene adalah pembeli aktif, susah bagi satu aliran
musik untuk tetap survive menghadapi pesaing lain yang sama-sama berkeinginan
mendapatkan tempat di bumi pertiwi ini. Kita berharap di tahun 2012 semakin
banyak musisi/ penyanyi yang akan memperpanjang deretan nama jazzer tanah air. (Dicky
Harisman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar