Kamis, 10 Mei 2012

Jazz Tanah Air bangun dari tidur lelap


Gitaris Tohpati


Geliat musik jazz tanah air  dalam sepuluh tahun terakhir terlihat sangat menggembirakan. Beberapa gelaran konser Jazz musisi lokal maupun mancanegara seakan memberi aksen kondisi tersebut. Jazz seakan bangun dari tidur lelapnya. Meski terseok-seok, secara samar musik jazz Indonesia mulai menampakkan aktivitasnya. Lumayan dibandingkan dengan tahun 90-an, musik jazz Indonesia kini mengalami kenaikkan, meski jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari.

Gebrakan jazz Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak akhir 1999 lalu, angin segar ini dihembuskan gitaris Tohpati, gitaris cerdas yang menjadi trensetter musik Jazz Indonesia merilis album solonya yang berjudul “Tohpati”. Di album pertamanya, gitaris Simak Dialog dan Halmahera itu memainkan musik bercorak Fusion hingga easy listening yang renyah. Permainan gitarnya mengingat kita pada gaya bermain gitaris Lee Ritenour, Tommy Emanuelle ataupun Rush Freeman.

Di album solonya Tohpati tidak sendiri, ia menggandeng beberapa nama musisi/penyanyi  seperti Ari Malibu, Glen Fredley, Sakhila,  serta saxoponis yang sering kerjasama dengan pianis Chick Corea, Eric Marienthal. Meski banyak menawarkan sentuhan jazz, Tohpati tampaknya jeli melihat pasar. Ia menerobos, merusakkan sekat musik Jazz yang hingga saat ini dipandang sebagai musik berat di mata anak remaja. Tak heran kalau beberapa lagunya terdengar sangat “ramah” di telinga pendengar musik Indonesia, di luar Jazz sekalipun.

Selain Tohpati ada pula beberapa penyanyi dan kelompok jazz yang membuat album di tahun tersebut, sebut saja penyanyi Iga Mawarni yang merilis album “Iga Lagi”, di album hasil kerjasama dengan musisi senior, Dodo Zakaria, Iga juga menggandeng Peter F Gontha sebagai lawan duetnya di lagu “Ada Apa “. Berikutnya kelompok pengusung Accic Jazz, The Groove mengapungkan album “Kuingin”,   disusul Discus 1St yang mengawinkan musik diatonis dan pentatonis dalam abulm perdananya. Gitaris asal Bali, Balawan bersama kelompok Balawan Batuan Ethnic Fusion, membaurkan musik barat dengan etnik Bali di album “Globalism”, kemudian Java Jazz mengangkat komposisi Jazznya yang punya warna khas dengan mengeluarkan album “Bulan di atas Asia”.

Setelah gebrakan penyanyi dan kelompok di atas, jazz Indonesia kembali lagi sunyi dari pendengaran, praktis memasuki tahun berikutnya jazz Indonesia kembali melempem. Kondisi ini amatlah kontras jika dibandingkan dengan perkembangan musik Jazz Indonesia pada era tahun 80-an. Dalam paruh tahun tersebut banyak bermunculan penyanyi serta kelompok Jazz yang sangat beragam. Sebut saja nama kelompok Karimata, Krakatau, Spirit, Black Fantasy, Bhaskara, Emerald dan masih banyak lagi. Dari penyanyi/musisi yang berangkat sebagai  solois, kita bisa menyebut nama-nama Dian Pramana Putra, Henry Manuputi, Christ Kayhatu, Indra Lesmana, Vony Sumlang, Nunung Wardiman, Cici Sumiati, Yopie Latul dan Rien Djamain. Yopie Latul belakangan hijrah  ke jalur pop bahkan ke dangdut.

Dibanding sekarang, musik Jazz Indonesia pada saat itu lebih leluasa berkembang, karena belum banyak jenis musik lain yang masuk ke tanah air.

Tapi bukan berarti tahun-tahun ini jazz Indonesia tak bisa bersanding dengan musik lainnya, andai saja komposisi jazz yang disodorkan mau sedikit “bargaining”, dengan keinginan pasar musik, niscaya jazz tanah air akan kembali dilirik generasi muda yang belakangan memang tidak terlalu suka mengapresiasi musik asal New Orleans itu.

Bergaining, dalam artian penulis lagu jazz yang dibuat mesti jeli melihat pasar musik yang kenyataannya banyak didominasi kawula muda. Jazz selama ini cenderung lebih mengedepankan  idealisme bermusik, jazz dicap kurang mendengar keinginan pasar. Lihat saja, bagaimana komposisi musik berat ini dibangun oleh beberapa instrument musik yang sangat asing ditelinga anak baru gede. Dengan ramuan musik seperti itu jazz semakin sulit diapresiasikan pendengar dari kalangan ini, Alhasil jazz cuku puas didengar dan dimainkan para generasi tua saja, atau beberapa gelintir kaum muda yang memiliki tingkat apresiasi musik lebih tinggi.
           
Tapi bukan berarti juga musisi jazz harus putar haluan, ”melacurkan diri” membuat komposisi lagu murahan yang minimalis. Setidaknya kita bisa berkaca pada apa yang dilakukan musisi jazz manacenagara seperti gitaris Lee Ritenour,super gurp Four Play, Yellow Jackets, The Rippingtons. Jika kita simak, musik yang mereka bangun terasa enteng di telinga, namun secara umum tetap ada pendalaman. Itulah sebabnya musisi dan kelompok yang disebut di atas mampu menyedot banyak penggemar dari kalangan ini.

Kembali kepada kesimpulan bahwa generasi muda (usia 17 s/d 35 th) adalah pasar yang baik bagi perkembangan musik global di tanah air. Sebab tanpa keberadaan mereka yang notabene adalah pembeli aktif, susah bagi satu aliran musik untuk tetap survive menghadapi pesaing lain yang sama-sama berkeinginan mendapatkan tempat di bumi pertiwi ini. Kita berharap di tahun 2012 semakin banyak musisi/ penyanyi yang akan memperpanjang deretan nama jazzer tanah air. (Dicky Harisman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar