![]() |
Rekaman Jazz masa lalu, Koleksi pribadi |
Memetakan sejarah
jazz di Indonesia memang agak sulit. Banyak silang pendapat tentang siapa,
kapan, dan di mana musik jenis ini muncul untuk pertama kali di Indonesia.
Sudibyo Pr, seorang
pencinta jazz dan penulis buku jazz, mengatakan pemain musik jazz tanah air dari
Indonesia yang pertama kali adalah para tentara dari Aceh. Tentara ini biasanya
dipanggil untuk menghibur pejabat-pejabat Belanda dan pribumi yang memiliki hak
sama dengan orang Belanda. Kala itu, mereka bermain musik jazz di Societet.
Sumber lain menyebut
bahwa jazz masuk ke Indonesia berbarengan dengan merebaknya jazz di New
Orleans, Amerika, tahun 1900-an. Pada 1920, kita mengenal kelompok bernama “Black & White”
di bawah pimpinan Wage Rudolf Supratman. Kelompok
ini bermain di Kota Makassar. Sedangkan di Jakarta, tahun 1930-an,
ada grup bernama “Melody Makers” yang dimotori oleh Jacob Sigarlaki. Dan musisi
lain seperti Bootje Pesolima, Hein Turangan, Nico Sigarlaki, serta Tjok
Sinsu.
Referensi lain menyebutkkan
bahwa jazz untuk pertama kali dimainkan di Indonesia pada tahun 1922. Setelah seorang
pemain saksofon asal Belanda membuat kelompok Jazz di Indonesia. Hampir 80%
personel kelompok ini adalah
orang Indo-Belanda. Dua dekade kemudian di Jakarta muncul Hein Turangan yang
membentuk kelompok jazz bernama “Jolly Strings”
Perkembangan selanjutnya ada Nicholas Maximiliaan
Mamahit (Nick Mamahit) seorang pianis Jazz berdarah Manado-Belanda yang mengusung Jazz modern setelah
meriilis album “Sarinande” dibawah bendera Irama
Record di tahun 1956. Proyek rekaman musisi yang pernah
mengenyam pendidikan musik di Amsterdam Music Conservatory pada tahun 1944 ini didukung oleh Bart Risakotta (drum) dan Jim
Espehana (bass).
Sebelum masuk ke
dapur rekaman nama Nick Mamahit sudah dikenal di tahun 1950-an saat Ia membentuk sebuah trio jazz dengan nama "The Progressief", bersama Dick
Abel (gitar) Van Der Capellen (bas) dan Nick sendiri pada piano.. Ia kemudian membentuk Metrapalita Orchestra bersama
Jos Cleber.
Memasuki era tahun 60
an praktis ingar bingar musik di tanah air sedikit meredup akibat pergolakan
politik di dalam negeri, hal ini sedikit
banyak berimbas pada perkembangan musik jazz di Indonesia. Pada tahun-tahun
tersebut, jazz dimainkan secara sembunyi-sembunyi. Sebab, musisi jazz dan
penggemarnya dihinggapi perasaan takut. Untungnya hal itu tidak
berlangsung lama. Setelah melewati masa sulit, musisi jazz mulai menampakkan
geliat lagi di tahun 67.
Bubi Chen membuat kejutan
di Berlin Jazz Fetival
Tahun 1967, Bubi Chen
(piano), Jopie Chen (bass), Jack Lesmana (gitar), Benny Mustapha Van Diest
(drum), dan Maryono (saksofon) sempat mengagetkan penikmat musik jazz dunia
karena bisa tampil di ajang “Berlin Jazz
Festival”. Lagu-lagu yang mereka suguhkan di ajang bergengsi itu sangat unik
dengan konsep Jazz dan balutan citra Indonesia hingga disebut sebagai “jazz ala
Indonesia”. Mereka sukses mengaransemen lagu “Djanger Bali” dan “Ku
Lama Menanti” yang mereka dedikasikan kepada perusahaan penerbangan
Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), yang telah memfasilitasi
keberangkatan Indonesia All Star. Di ajang ini, Bubi Chen mendapatkan
respons yang sangat positif dari para penulis jazz internasional. Ia lantas
disebut sebagai pianis jazz terbaik di Asia dan mendapat gelar sebagai “Art
Tatum of Asia”. Sekedar mengingat Art Tatum adalah salah satu pianis jazz besar,
lahir Toledo, Ohio dan telah merekam lebih dari 60 album sepanjang kariernya.
Di era 70an yang tak
kalah penting juga mencuatnya nama penyanyi dan penulis lagu yang kreatif Margie
Segers. Suaranya yang yang jernih membuat musisi Jack Lesmana jatuh hati pada
Mergie, direkrutnya Mergie untuk mendukung proyek rekaman Jack Lesmana berjudul
“Siapa Bilang Sayang”, album ini memuat nomor hits dari sejumlah musisi tanah
air seperti A. Rianto, Charles Hutagalung, Bing Slamet, Narto Sabdo, dan Jack
Lesmana sendiri.
Pada tahun 1977, perusahan
rekaman Pramaqua merilis album Jopie Item Combo & Idris Sardi, yang antara
lain didukung pula oleh musisi kawakan seperti Karim Suweilleh (drums), Abadi
Soesman (drum) dan Wempy Tanasale (bass). Album ini mengetengahkan duet
permainan biola Idris Sardi dan raungan gitar Jopie Item.
Jopie Item sendiri muncul
sebagai generasi lanjutan jazz Indonesia yang lumayan aktif bermain di pentas clubs
dan TVRI. Kelompoknya yang terkenal adalah Jopie Item Combo. Jopie juga
bermain bersama Rully Johan atau Abadi Soesman. Sementara Abadi Soesman sendiri
juga memiliki proyek jazz rock-nya yang lain dengan kelompok “The Eternals”,
yang juga bermain di clubs.
Jazz di akhir 70-an pasarnya
mulai melebar, sejumlah anak-anak muda mulai melirik kampus sebagai tempat pergerakan
jazz. Yang paling menonjol adalah Universitas Indonesia lewat “ulah” mahasiswa
Fakultas Ekonominya dibawah Chandra Darusman dengan kelompok vokalnya bernama
Chaseiro yang didukung teman-teman sekampusnya seperti Helmie dan Rizali
Indrakesuma, Edi Hudioro, Norman Sonisontani (Omen).
Kemunculan musisi
jenius Fariz Rustam Munaf Di akhir 1970-an langsung menyita perhatian publik,
Fariz merilis album perdanya “Sakura” di tahun 1978 dengan unsur Jazz Rock yang
sangat menawan Fariz disebut-sebut sebagai musisi jenius oleh penikmat musik,
dia memainkan seluruh alat isntrument di album dengan hits “Sakura” yang
merupakan soundtrack film”Sakura dalam Pelukan”.
JakJazz
Di era tahun 1980-an
selain pergelaran jazz lokal seperti “Jazz Goes To Campus” yang sudah menjadi
agenda rutin setiap tahun dan digelar di kampus UI, pada tahun 1988 juga
terselenggara sebuah event jazz yang terbesar yang pernah digelar oleh
anak negeri, yakni Jakarta International Jazz Festival atau yang lebih dikenal
dengan nama Jak Jazz, atas gagasan cemerlang Ireng Maulana.
Perhelatan jazz akbar
ini sungguh membanggakan karena diikuti oleh musisi jazz dunia, baik dari
Amerika, Eropa, dan Asia. Tentu saja ratusan musisi jazz kita ikut andil sambil
berkolaborasi satu panggung dengan musisi-musisi luar negeri. Musisi-musisi
dari luar yang memeriahkan Jak Jazz pertama itu adalah Phil Perry, Lee
Ritenour, Larry Corvell, Kazumi Watanabe, Frederick Noran Band, Igor Brill
Ensemble.
Banyak musisi Jazz
ataupun kelompok lahir di tahun ini, sebut saja kelompok bertaraf internasional
seperti Bhaskara, Karimata, Krakatau, Emerald hingga ke kelompok Spirit, Black
Fantasy, Trans dan d’Marszyo.
Pengaruh fusion yang
melanda anak-anak muda di seluruh dunia seperti kelompok Casiopea, Uzeb, Spyro
Gyra, Mezzoforte dan Azzymuth turut memengaruhi aliran musik yang dimainkan
oleh kelompok-kelompok Jazz tanah air kala itu.
Era tahun 90 hingga 2000-an
jazz tanah air lebih menggeliat lagi
dengan hadirnya kelompok baru yang mengusung format musik jazz dari yang memainkan
musik standard, Be-bop, Ragtime, Smooth Jazz hingga fusion yang disebut-sebut
telah meramaikan khasanah Jazz tanah air seperti Cherokee, Canizaro, Rhythem Of
Jakarta, Bali Lounge, Park Drive, Canzo, Simak Dialog, Chlorophil dan masih
banyak lagi. Tentunya penikmat Jazz tanah air masih terus menantikan
kejutan-kejutan dari kelompok baru ataupun lama yang akan terus memperpanjang
sejarah jazz dalam negeri. Semoga! (Dicky
Harisman)