Sabtu, 19 Mei 2012

Sejarah Jazz Tanah Air


  
Rekaman Jazz masa lalu, Koleksi pribadi
Memetakan sejarah jazz di Indonesia memang agak sulit. Banyak silang pendapat tentang siapa, kapan, dan di mana musik jenis ini muncul untuk pertama kali di Indonesia. 

Sudibyo Pr, seorang pencinta jazz dan penulis buku jazz, mengatakan pemain musik jazz tanah air dari Indonesia yang pertama kali adalah para tentara dari Aceh. Tentara ini biasanya dipanggil untuk menghibur pejabat-pejabat Belanda dan pribumi yang memiliki hak sama dengan orang Belanda. Kala itu, mereka bermain musik jazz di Societet.

Sumber lain menyebut bahwa jazz masuk ke Indonesia berbarengan dengan merebaknya jazz di New Orleans, Amerika, tahun 1900-an. Pada 1920, kita mengenal kelompok bernama “Black & White” di bawah pimpinan Wage Rudolf Supratman. Kelompok ini bermain di Kota Makassar. Sedangkan di Jakarta, tahun 1930-an, ada grup bernama “Melody Makers” yang dimotori oleh Jacob Sigarlaki. Dan musisi lain seperti Bootje Pesolima, Hein Turangan, Nico Sigarlaki, serta Tjok Sinsu. 

Referensi lain menyebutkkan bahwa jazz untuk pertama kali dimainkan di Indonesia pada tahun 1922. Setelah seorang pemain saksofon asal Belanda membuat kelompok Jazz di Indonesia. Hampir 80% personel kelompok ini adalah orang Indo-Belanda.  Dua dekade kemudian di Jakarta muncul Hein Turangan yang membentuk kelompok jazz bernama “Jolly Strings”

Perkembangan selanjutnya ada Nicholas Maximiliaan Mamahit (Nick Mamahit) seorang pianis Jazz berdarah Manado-Belanda yang mengusung Jazz modern setelah meriilis album “Sarinande” dibawah bendera Irama Record di tahun 1956. Proyek rekaman musisi yang pernah mengenyam pendidikan musik di Amsterdam Music Conservatory pada tahun 1944 ini didukung oleh Bart Risakotta (drum) dan Jim Espehana (bass).

Sebelum masuk ke dapur rekaman nama Nick Mamahit sudah dikenal di tahun 1950-an saat Ia membentuk sebuah trio jazz dengan nama "The Progressief", bersama Dick Abel (gitar) Van Der Capellen (bas) dan Nick sendiri pada piano.. Ia kemudian membentuk Metrapalita Orchestra bersama Jos Cleber.
Memasuki era tahun 60 an praktis ingar bingar musik di tanah air sedikit meredup akibat pergolakan politik di dalam negeri, hal ini  sedikit banyak berimbas pada perkembangan musik jazz di Indonesia. Pada tahun-tahun tersebut, jazz dimainkan secara sembunyi-sembunyi. Sebab, musisi jazz dan penggemarnya dihinggapi perasaan takut.  Untungnya hal itu tidak berlangsung lama. Setelah melewati masa sulit, musisi jazz mulai menampakkan geliat lagi di tahun 67. 

Bubi Chen membuat kejutan di Berlin Jazz Fetival 
Tahun 1967, Bubi Chen (piano), Jopie Chen (bass), Jack Lesmana (gitar), Benny Mustapha Van Diest (drum), dan Maryono (saksofon) sempat mengagetkan penikmat musik jazz dunia karena bisa  tampil di ajang “Berlin Jazz Festival”. Lagu-lagu yang mereka suguhkan di ajang bergengsi itu sangat unik dengan konsep Jazz dan balutan citra Indonesia hingga disebut sebagai “jazz ala Indonesia”. Mereka sukses mengaransemen lagu “Djanger Bali” dan “Ku Lama Menanti” yang mereka dedikasikan kepada perusahaan penerbangan Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), yang telah memfasilitasi keberangkatan Indonesia All Star.  Di ajang ini, Bubi Chen mendapatkan respons yang sangat positif dari para penulis jazz internasional. Ia lantas disebut sebagai pianis jazz terbaik di Asia dan mendapat gelar sebagai “Art Tatum of Asia”. Sekedar mengingat Art Tatum adalah salah satu pianis jazz besar, lahir Toledo, Ohio dan telah merekam lebih dari 60 album sepanjang kariernya. 

Di era 70an yang tak kalah penting juga mencuatnya nama penyanyi dan penulis lagu yang kreatif Margie Segers. Suaranya yang yang jernih membuat musisi Jack Lesmana jatuh hati pada Mergie, direkrutnya Mergie untuk mendukung proyek rekaman Jack Lesmana berjudul “Siapa Bilang Sayang”, album ini memuat nomor hits dari sejumlah musisi tanah air seperti A. Rianto, Charles Hutagalung, Bing Slamet, Narto Sabdo, dan Jack Lesmana sendiri. 

Pada tahun 1977, perusahan rekaman Pramaqua merilis album Jopie Item Combo & Idris Sardi, yang antara lain didukung pula oleh musisi kawakan seperti Karim Suweilleh (drums), Abadi Soesman (drum) dan Wempy Tanasale (bass). Album ini mengetengahkan duet permainan biola Idris Sardi dan raungan gitar Jopie Item. 

Jopie Item sendiri muncul sebagai generasi lanjutan jazz Indonesia yang lumayan aktif bermain di pentas clubs dan TVRI. Kelompoknya yang terkenal adalah Jopie Item Combo. Jopie juga bermain bersama Rully Johan atau Abadi Soesman. Sementara Abadi Soesman sendiri juga memiliki proyek jazz rock-nya yang lain dengan kelompok “The Eternals”, yang juga bermain di clubs

Jazz di akhir 70-an pasarnya mulai melebar, sejumlah anak-anak muda mulai melirik kampus sebagai tempat pergerakan jazz. Yang paling menonjol adalah Universitas Indonesia lewat “ulah” mahasiswa Fakultas Ekonominya dibawah Chandra Darusman dengan kelompok vokalnya bernama Chaseiro yang didukung teman-teman sekampusnya seperti Helmie dan Rizali Indrakesuma, Edi Hudioro, Norman Sonisontani (Omen). 

Kemunculan musisi jenius Fariz Rustam Munaf Di akhir 1970-an langsung menyita perhatian publik, Fariz merilis album perdanya “Sakura” di tahun 1978 dengan unsur Jazz Rock yang sangat menawan Fariz disebut-sebut sebagai musisi jenius oleh penikmat musik, dia memainkan seluruh alat isntrument di album dengan hits “Sakura” yang merupakan soundtrack film”Sakura dalam Pelukan”.  

JakJazz
Di era tahun 1980-an selain pergelaran jazz lokal seperti “Jazz Goes To Campus” yang sudah menjadi agenda rutin setiap tahun dan digelar di kampus UI, pada tahun 1988 juga terselenggara sebuah event jazz yang terbesar yang pernah digelar oleh anak negeri, yakni Jakarta International Jazz Festival atau yang lebih dikenal dengan nama Jak Jazz, atas gagasan cemerlang Ireng Maulana. 

Perhelatan jazz akbar ini sungguh membanggakan karena diikuti oleh musisi jazz dunia, baik dari Amerika, Eropa, dan Asia. Tentu saja ratusan musisi jazz kita ikut andil sambil berkolaborasi satu panggung dengan musisi-musisi luar negeri. Musisi-musisi dari luar yang memeriahkan Jak Jazz pertama itu adalah Phil Perry, Lee Ritenour, Larry Corvell, Kazumi Watanabe, Frederick Noran Band, Igor Brill Ensemble.
Banyak musisi Jazz ataupun kelompok lahir di tahun ini, sebut saja kelompok bertaraf internasional seperti Bhaskara, Karimata, Krakatau, Emerald hingga ke kelompok Spirit, Black Fantasy, Trans dan d’Marszyo.
Pengaruh fusion yang melanda anak-anak muda di seluruh dunia seperti kelompok Casiopea, Uzeb, Spyro Gyra, Mezzoforte dan Azzymuth turut memengaruhi aliran musik yang dimainkan oleh kelompok-kelompok Jazz tanah air kala itu.

Era tahun 90 hingga 2000-an jazz tanah air  lebih menggeliat lagi dengan hadirnya kelompok baru yang mengusung format musik jazz dari yang memainkan musik standard, Be-bop, Ragtime, Smooth Jazz hingga fusion yang disebut-sebut telah meramaikan khasanah Jazz tanah air seperti Cherokee, Canizaro, Rhythem Of Jakarta, Bali Lounge, Park Drive, Canzo, Simak Dialog, Chlorophil dan masih banyak lagi. Tentunya penikmat Jazz tanah air masih terus menantikan kejutan-kejutan dari kelompok baru ataupun lama yang akan terus memperpanjang sejarah jazz dalam negeri. Semoga! (Dicky Harisman)

Kamis, 10 Mei 2012

Jazz Tanah Air bangun dari tidur lelap


Gitaris Tohpati


Geliat musik jazz tanah air  dalam sepuluh tahun terakhir terlihat sangat menggembirakan. Beberapa gelaran konser Jazz musisi lokal maupun mancanegara seakan memberi aksen kondisi tersebut. Jazz seakan bangun dari tidur lelapnya. Meski terseok-seok, secara samar musik jazz Indonesia mulai menampakkan aktivitasnya. Lumayan dibandingkan dengan tahun 90-an, musik jazz Indonesia kini mengalami kenaikkan, meski jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari.

Gebrakan jazz Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak akhir 1999 lalu, angin segar ini dihembuskan gitaris Tohpati, gitaris cerdas yang menjadi trensetter musik Jazz Indonesia merilis album solonya yang berjudul “Tohpati”. Di album pertamanya, gitaris Simak Dialog dan Halmahera itu memainkan musik bercorak Fusion hingga easy listening yang renyah. Permainan gitarnya mengingat kita pada gaya bermain gitaris Lee Ritenour, Tommy Emanuelle ataupun Rush Freeman.

Di album solonya Tohpati tidak sendiri, ia menggandeng beberapa nama musisi/penyanyi  seperti Ari Malibu, Glen Fredley, Sakhila,  serta saxoponis yang sering kerjasama dengan pianis Chick Corea, Eric Marienthal. Meski banyak menawarkan sentuhan jazz, Tohpati tampaknya jeli melihat pasar. Ia menerobos, merusakkan sekat musik Jazz yang hingga saat ini dipandang sebagai musik berat di mata anak remaja. Tak heran kalau beberapa lagunya terdengar sangat “ramah” di telinga pendengar musik Indonesia, di luar Jazz sekalipun.

Selain Tohpati ada pula beberapa penyanyi dan kelompok jazz yang membuat album di tahun tersebut, sebut saja penyanyi Iga Mawarni yang merilis album “Iga Lagi”, di album hasil kerjasama dengan musisi senior, Dodo Zakaria, Iga juga menggandeng Peter F Gontha sebagai lawan duetnya di lagu “Ada Apa “. Berikutnya kelompok pengusung Accic Jazz, The Groove mengapungkan album “Kuingin”,   disusul Discus 1St yang mengawinkan musik diatonis dan pentatonis dalam abulm perdananya. Gitaris asal Bali, Balawan bersama kelompok Balawan Batuan Ethnic Fusion, membaurkan musik barat dengan etnik Bali di album “Globalism”, kemudian Java Jazz mengangkat komposisi Jazznya yang punya warna khas dengan mengeluarkan album “Bulan di atas Asia”.

Setelah gebrakan penyanyi dan kelompok di atas, jazz Indonesia kembali lagi sunyi dari pendengaran, praktis memasuki tahun berikutnya jazz Indonesia kembali melempem. Kondisi ini amatlah kontras jika dibandingkan dengan perkembangan musik Jazz Indonesia pada era tahun 80-an. Dalam paruh tahun tersebut banyak bermunculan penyanyi serta kelompok Jazz yang sangat beragam. Sebut saja nama kelompok Karimata, Krakatau, Spirit, Black Fantasy, Bhaskara, Emerald dan masih banyak lagi. Dari penyanyi/musisi yang berangkat sebagai  solois, kita bisa menyebut nama-nama Dian Pramana Putra, Henry Manuputi, Christ Kayhatu, Indra Lesmana, Vony Sumlang, Nunung Wardiman, Cici Sumiati, Yopie Latul dan Rien Djamain. Yopie Latul belakangan hijrah  ke jalur pop bahkan ke dangdut.

Dibanding sekarang, musik Jazz Indonesia pada saat itu lebih leluasa berkembang, karena belum banyak jenis musik lain yang masuk ke tanah air.

Tapi bukan berarti tahun-tahun ini jazz Indonesia tak bisa bersanding dengan musik lainnya, andai saja komposisi jazz yang disodorkan mau sedikit “bargaining”, dengan keinginan pasar musik, niscaya jazz tanah air akan kembali dilirik generasi muda yang belakangan memang tidak terlalu suka mengapresiasi musik asal New Orleans itu.

Bergaining, dalam artian penulis lagu jazz yang dibuat mesti jeli melihat pasar musik yang kenyataannya banyak didominasi kawula muda. Jazz selama ini cenderung lebih mengedepankan  idealisme bermusik, jazz dicap kurang mendengar keinginan pasar. Lihat saja, bagaimana komposisi musik berat ini dibangun oleh beberapa instrument musik yang sangat asing ditelinga anak baru gede. Dengan ramuan musik seperti itu jazz semakin sulit diapresiasikan pendengar dari kalangan ini, Alhasil jazz cuku puas didengar dan dimainkan para generasi tua saja, atau beberapa gelintir kaum muda yang memiliki tingkat apresiasi musik lebih tinggi.
           
Tapi bukan berarti juga musisi jazz harus putar haluan, ”melacurkan diri” membuat komposisi lagu murahan yang minimalis. Setidaknya kita bisa berkaca pada apa yang dilakukan musisi jazz manacenagara seperti gitaris Lee Ritenour,super gurp Four Play, Yellow Jackets, The Rippingtons. Jika kita simak, musik yang mereka bangun terasa enteng di telinga, namun secara umum tetap ada pendalaman. Itulah sebabnya musisi dan kelompok yang disebut di atas mampu menyedot banyak penggemar dari kalangan ini.

Kembali kepada kesimpulan bahwa generasi muda (usia 17 s/d 35 th) adalah pasar yang baik bagi perkembangan musik global di tanah air. Sebab tanpa keberadaan mereka yang notabene adalah pembeli aktif, susah bagi satu aliran musik untuk tetap survive menghadapi pesaing lain yang sama-sama berkeinginan mendapatkan tempat di bumi pertiwi ini. Kita berharap di tahun 2012 semakin banyak musisi/ penyanyi yang akan memperpanjang deretan nama jazzer tanah air. (Dicky Harisman)